Lensa Darbi

Wednesday, May 09, 2007

Membantah Pengaruh Amerika


Latihan militer AS sebagai persiapan tindakan ke Iran hanya beberapa hari setelah DK PBB menjatuhkan Resolusi 1747 menegaskan situasi yang sedang terjadi. Pemerintah Indonesia dengan bersusah payah mencoba membantah pengaruh AS atas resolusi tersebut, namun latihan militer itu kian membawa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada situasi sulit.
Citra di kelompok masyarakatlah yang berat untuk diperbaiki karena selama ini pemerintah telanjur tebar pesona dengan mengakomodasi kebijakan nuklir Iran dan menentang campur tangan yang tak patut dari AS. Sementara, interpelasi akan lebih mudah diatasi karena partai-partai politik tidak cukup tulus melakukannya dan hanya tebar pesona pula demi 2009.
Partai Golkar takkan berbeda dengan PPP atau Demokrat untuk segera memahami keputusan pemerintah mendukung resolusi itu. Pemerintah kini cukup menandai figur tertentu, misalnya Yuddy Chrisnandi, sebagai koboi Senayan yang perlu mendapat perhatian khusus; serta partai oposisi seperti PDIP yang tidak punya beban politik. Dua hal yang juga takkan terlalu sulit dihadapi.
Membantah pengaruh Amerika adalah hal yang lazim namun ahistoris. Sejak keruntuhan Tembok Berlin pada 1989; serta Perestroika Gorbachev, lalu diikuti aksi politik Boris Yeltsin menentang keputusan keadaan darurat Politbiro pada 1991, yang menjadi ikon kematian komunisme Uni Soviet; tak ada lagi adidaya dunia selain Amerika. Pengaruhnya mengatasi kumpulan negara-negara makmur yang tergabung dalam Uni Eropa, mencakup bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Francis Fukuyama menyebut pengaruh Amerika sebagai kekaisaran baru dunia. Negeri inilah pemegang saham terbesar dan penikmat dividen nomor satu--pada proyek bernama globalisasi. Pada saat bersamaan, Amerika melanggar aturan-aturan perdagangan internasional dan memberikan subsidi besar-besaran terhadap para petaninya yang berdampak pada pemiskinan petani-petani di wilayah negara lain.
Mali, negeri miskin di Afrika, menerima bantuan sekitar 37 juta dolar per tahun dari Amerika via USAID. Namun, seperti diungkap Edmund L Andrews dalam New York Times edisi 30 September 2002, negeri ini harus kehilangan sekitar 43 juta dolar dari penghasilan kapas sebagai dampak undang-undang pertanian AS yang meningkatkan subsidi dan perlindungan bagi produsen domestik AS.
Apa yang sedang Iran hadapi adalah copy paste skenario AS dalam menangani Irak pada 2002. Intinya adalah proyek kekaisaran dunia dalam menghadapi potensi disiden. Kaisar bernama George W Bush sebenarnya berbasa-basi saat menelepon Yudhoyono soal Iran. Ia tentu tak memerlukan dukungan untuk menghadapi Iran sebagaimana halnya ia tak perlu dukungan siapapun, termasuk PBB, saat menyerbu Irak. Bush memandang perlu menelepon Yudhoyono untuk hal lain yang belum kita tahu. Bisa jadi lebih terkait pengaruh Cina di kawasan.
Bush pada awalnya mengisyaratkan tidak merasa perlu mendatangi PBB untuk memulai proyek menghabisi 'senjata pemusnah massal' (WMD) milik rezim Saddam. Namun demikian Resolusi 1441 Dewan Keamanan PBB akhirnya jatuh dan mengamanatkan perlucutan senjata pemusnah massal tersebut.
Ancaman senjata pemusnah massal Irak bukanlah hal nyata yang saat itu dihadapi Amerika. Bush pun tak mencoba menggunakan Pasal 51 Piagam PBB yang mengizinkan tindakan militer unilateral sebagai pertahanan diri secara preemtif. Amerika melakukannya lebih sebagai tindakan pencegahan daripada aksi mendahului serangan.
Empat tahun kejatuhan rezim Saddam Hussein membuka selubung berbagai hal. Senjata pemusnah massal itu tak pernah ada. Kaisar Bush beralih pada persoalan terorisme bahwa situasi Irak adalah ladang subur bagi kelompok-kelompok pengancam perdamaian dunia bernama fundamentalis Islam. Ia bicara soal Alqaidah, kendati pada April 2007 mencapai ending antiklimaks dari anak buahnya sendiri: Tak ada kaitan antara rezim Saddam dan Alqaidah.
Deplu RI telah mengirimkan nota keberatan atas ekspose latihan militer AS persiapan ke Iran. Sebagaimana usul Yudhoyono saat Bush menjadi tamu besar di Bogor pada 2006, nota ini hanya akan masuk kuping kiri keluar kuping kanan karena sang kaisar lebih mendengar nasihat para pembisik di lingkungan dalamnya.
Bush junior ini, sebagaimana halnya sang ayah, adalah Episkopalian berdarah biru yang bersama separuh orang Amerika beralih menjadi Evangelis. Ia adalah bagian dari gerakan radikal menghadapi kebuntuan kebudayaan modern Amerika. Radikalisme ini tumbuh dari tokoh fundamentalis Kristen Bob Jones dengan penerus Billy Graham yang kerap mengutuk kehidupan modern sebagai sesuatu yang penuh dosa.
Fareed Zakaria, editor Newsweek International, mengutip seorang teolog, menggambarkan Graham sebagai pengkhotbah keras yang tahu mana ceramah yang laku dan tidak laku. Graham menggunakan media-media modern seperti televisi untuk menggantikan kesetiaan warga Amerika terhadap gereja-gereja lokal gaya Episkopalian tradisional.
Graham adalah perintis. Ia kemudian mendapatkan pengikut yang mewarisi fundamentalisme Kristennya. Dua nama terkemuka saat ini adalah Pendeta Patt Robertson dan Jerry Falwell. Merekalah yang memberi inspirasi bagi George W Bush tentang Perang Salib saat hendak menggelorakan semangat untuk menyerang Irak. kalyara@yahoo.com(Arys Hilman )

No comments: