Lensa Darbi

Thursday, January 11, 2007

Satu Koin Dua Muka


Satu Koin Dua Muka; Belajar dan Bermain
Jumat, 04 Agustus 06 - oleh : ummi

Dunia anak adalah dunia bermain. Pernyataan ini tentunya disetujui hampir keseluruhan orangtua. Masalahnya, apakah dunia keseharian anak kita sudah memenuhi kebutuhan bermainnya?

Ada satu kiasan yang menyatakan: Paling enak jadi anak-anak. Mereka tidak dibebani dengan problem masa lalu dan tidak diburu dengan tuntutan masa depan.

Tapi, kiasan ini agaknya hanya cocok untuk diterapkan pada anak-anak jaman dahulu. Karena bagi anak sekarang, tuntutan masa depan mereka hadir begitu nyata. Tengoklah siswa-siswi SD, yang setiap jam setengah tujuh pagi sudah terlihat terbungkuk-bungkuk menghela ransel penuh buku menuju sekolah. Sementara sepulang sekolah, beragam program sudah pula menanti. Les matematik, bahasa inggris, sempoa hingga TPA.

Bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah unggulan atau SDIT, waktu bahkan sudah menjelang petang saat mereka meninggalkan sekolah. Semua aktivitas para bocah ini masih ditambah pula dengan tumpukan peer yang harus dikerjakan. Tak heran, seorang ibu berkelakar, anak SD masa kini jauh lebih sibuk dari pegawai negeri!

Bukan sekedar kanan atau kiri
Bermunculannya anak-anak super sibuk macam ini memang bukan tanpa sebab. Dilandasi alasan menyiapkan masa depan anak yang lebih baik, banyak orangtua tak ragu memberikan tambahan kursus dan les ini itu yang bisa memompa tingkat prestasi akademis anak mereka. Ikut bimbingan belajar, privat matematika, IPA, Sempoa, hingga kursus berbagai macam bahasa. Harapannya tentu agar anak sukses dalam meniti kehidupan masa depannya.

Sebagian besar kegiatan sekolah plus kursus-kursus macam ini memang mengasah sisi kognitif anak yang ‘diurusi’ fungsi otak kiri manusia. Padahal penelitian yang dilakukan George Boggs (dalam Jefferson Center, 1997) sebagaimana dikutip Ratna Megawangi dalam bukunya Pendidikan Karakter justru menunjukkan bahwa sekitar 77% kesuksesan dunia kerja-yang merupakan bagian penting dalam kehidupan di masa depan-justru diperoleh dari aktivitas aktif otak kanan yang berhubungan dengan berbagai macam kecerdasan non akademis seperti kecerdasan emosi, spiritual, seni, bahasa, dll.

Maka, berlandaskan pada temuan-temuan mutakhir soal kecerdasan ini, berbondong-bondong pulalah orangtua memberi tambahan bekal pada anak mereka; Kursus bahasa, les piano, renang, jujitsu, hingga melukis. Sebagai pelengkap, tak lupa pula dipanggil guru mengaji ke rumah untuk memperbaiki bacaan dan menambah hafalan qur’an. Setelah ini semua terpenuhi, bukankah sudah lengkap suplai makanan bagi otak sang anak? Ada asupan otak kanan (yang mencakup pola pikir linear dan analitis) serta otak kiri (yang mencakup nilai rasa, emosi dan jiwa) sekaligus.

Mungkin ya, mungkin juga tidak, sebab pertanyaan yang kemudian tersisa adalah sudahkan tercukupi hak anak untuk bermain?
Bermain adalah belajar tanpa paksaan

Meski sudah berupaya mengimbangi keselarasan aktivitas penunjang otak kanan dan kiri, tak semua anak nyatanya bisa memaksimalkan kecerdasannya. Mengapa? Karena, sekali lagi, ternyata kebanyakan anak kurang memiliki kesempatan bermain dalam artian bersenang-senang, rileks dan melakukan berbagai aktivitas secara bebas sesuai dengan apa yang mereka sukai dan minati bukan apa yang seharusnya mereka sukai dan minati.

Di sebuah mall, saat mengantri di kasir, Ummi bahkan menemui seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang tidak mau berangkat kursus balet. Anak perempuan cilik seusia kira-kira enam tahun itu cemberut dengan berlinang airmata, sementara si ibu terus saja berkata, “Kamu ini bagaimana sih, mama sudah bayar mahal untuk kursus balet kamu, kok sekarang kamu enak saja nggak mau kursus!”

Disinilah persoalannya. Merangsang kerja otak kanan, bukan sekedar memberi anak aktivitas yang bersifat ke-kanan-an, melainkan bagaimana dalam satu akttivitas, anak dapat terlibat emosi, rasa, jiwa, mental, dan sisi spiritualnya secara positip, diantaranya lewat bermain.

Itu sebabnya bermain menjadi satu aktivitas penting yang perlu diperhatikan orangtua pada anak. Karena bermain, selain merupakan kegemaran anak-anak, juga merupakan satu sarana penting bila kita ingin anak menjadi lebih cerdas bahkan lebih pintar.

Bagaimana bisa demikian?
“Karena berbagai riset menunjukkan anak lebih mudah belajar, lebih mudah menyerap pelajaran, saat hati mereka senang, diri mereka senang, konsep diri mereka positip.” Jelas DR Anggani Sudono, MA, konsultan pendidikan yang juga merupakan aktivis World Forum on Early Care and Education-National Representative Indonesia.

Lewat aktivitas bermain, yang jelas-jelas menyenangkan bagi anak, segala stimulus atau rangsangan pada otak kanan maupun kiri anak, jauh lebih mudah diterima dan diserap anak dengan sikap yang positip.

Pernyataan ini juga ditunjang oleh berbagai penelitian biologis yang menjelaskan bahwa segala stimulus yang ditangkap pancaindera kita, pertama kali akan direkam pada struktur otak kanan yang merupakan pusat emosi yaitu amigdala (sistem limbic). Barulah kemudian, ia akan disalurkan pada neokorteks yang merupakan belahan otak kiri dan berfungsi sebagai pengatur kecerdasan kognitif. Karenanya, bila situasi belajar anak melibatkan unsur emosi positip, proses perekamannya akan lebih sempurna dan bertahan lebih lama.

Lebih lanjut, emosi positif seperti kegembiraan, bahagia, senang dan minat diketahui pula akan merangsang keluarnya hormon endorfin yang bertugas mengaktifkan kerja zat neurotransmitter antar sel yang bisa membuat kerja otak menjadi efektif dan efisien. Baik dalam hal menyerap, mengingat, maupun berpikir.

Sebaliknya, stress, tertekan atau rasa takut yang umum terjadi pada proses belajar yang hanya mengandalkan kerja otak kiri semata (menghafal, berpikir analitis atau menghitung) justru menghambat proses berpikir dan mengingat.
Raih tumbuh kembang sempurna

Psikolog Surastuti Nurdadi, Msi., menjelaskan bagaimana bermain juga menjadi jalan untuk meraih tumbuh kembang anak yang sempurna, karena memenuhi keseluruhan faktor tumbuh kembang: Fisik atau motorik, intelektual, emosi, juga sosial.

Anak dengan segala aktivitas dinamisnya, seperti meloncat, memanjat, meluncur, menggenggam, mencabut, sesungguhnya tengah melatih gerak motorik kasar dan halus.

“Lihat saja, anak yang cukup bermain, cukup belajar dan berlatih untuk mengendalikan emosi, tidak cepat marah saat bermain sama teman, tidak cepat putus asa kalau tidak berhasil, dia belajar bergaul dengan teman berbeda usia dan karakter, dia belajar warna ketika menggambar, belajar berhitung, membagi, dan banyak lagi,” contoh lulusan pascasarjana Psikologi UI untuk kekhususan Perkembangan ini lagi.

Sesuaikan saja porsi dan cara bermain dengan faktor usia anak. Sampai usia SD, misalnya, porsi bermain anak memang sangat besar dan menjadi aktivitas dominan. Sementara pada usia SD, meski suah ada pengembangan aktivitas sekolah yang bertumpu pada penguatan kerja otak kiri, agar hasilnya lebih sempurna, balutlah kegiatan ini dalam aktivitas-aktivitas ala bermain, yaitu rileks, menyenangkan, membangkitkan minat, hingga tak mudah dilupakan.

Matematika, IPA, IPS, bahkan pelajaran fikih, akhlak dan sejarah pun bisa dilakukan secara serius namun santai agar serapan otak anak lebih maksimal. Lewat berbagai percobaan, contoh-contoh nyata hingga simulasi, anak akan terlibat penuh dengan aktivitas belajar, diberi keleluasaan berkreasi dan yang paling penting anak akan bisa benar-benar menikmati sekolah, yang sesungguhnya berasal dari kata Yunani, Skolea, yang artinya tempat bersantai atau tempat bermain. (Zirlyfera Jamil/Wawancara: Rahmi, Rosita dan Agus)


Bercermin dari Kuda Tunggangan Terbaik
Banyak orang salah menyangka bahwa anak-anak yang bersekolah di sekolah Islam, pesantren atau dididik dengan nilai-nilai Islam yang kuat akan tumbuh jadi anak-anak yang serius, garing dan kaku. Padahal, justru Rasulullah Saw sendiri telah mencontohkan bagaimana mendidik anak, isteri hingga cucunya dengan aktivitas permainan yang menyenangkan mereka, melembutkan hati mereka dan membuka pemikiran mereka.

Tengok saja kejadian dimana pada suatu hari, Hasan dan Husain naik ke punggung Rasulullah Saw dan menjadikan beliau seolah-olah kuda tunggangan. Seorang sahabat yang lewat berkata: “Sebaik-baik kendaraan adalah yang kalian naiki”. Rasul tersenyum seraya menambahkan perkataan; ”dan sebaik-baik pengendara adalah kedua cucuku ini.”

Dengan bermain kuda tunggang ini, bukankah Rasulullah telah mengajarkan Hasan dan Husain persoalan kasih sayang, kemauan berbagi sekaligus melatih aktivitas motorik mereka?

Begitu pula saat Rasulullah mendapati Aisyah bermain-main dengan boneka kuda dan menggerak-gerakkanya di udara seolah terbang. Rasul tidak melarangnya bahkan mengajukan pada Aisyah pertanyaan terbuka yang memancing kreasi: “Bukankah itu kuda, wahai Aisyah? Bagaimana ia dapat terbang?” Maka, Aisyah yang saat itu masih belia dan merasa mendapat tanggapan positip, tanpa rasa ragu menjawab: “Ini kan kuda Nabi Sulaiman. Ia bersayap dan karena itu dia dapat terbang.” Rasul tidak menolak atau mecemooh jawaban itu. Beliau bahkan tertawa mendengar imajinasi kreasi Aisyah.

Ustadz Utbah Romin Lc, menjelaskan betapa pentingnya hak bermain bagi anak di dalam Islam, hingga para ulama bahkan bersepakat menyatakan fase kanak-kanak usia 0 hingga 7 tahun sebagai fase mula’abah-fase bermain. “Pada usia ini, anak memang diprioritaskan agar merasa enjoy, merasa senang jiwanya, lewat aktivitas-aktivitas bermain. Diatas usia 7 hingga 14 tahun, barulah anak diajarkan etika dan adab. Dan diatas usia 14 tahun, anak sudah dapat diajak bersosialisasi, melebur ke tengah masyarakat.”

Bahkan, urai dosen Dirosah Al Hikmah ini pula, aktivitas bermain tetap harus dipentingkan, diseimbangkan dengan tugas, kewajiban atau pendidikan yang diberikan orangtua pada anak meski mereka sudah melewati fase mula’abah.

Harapannya, jelas lelaki kelahiran Sambas ini, anak yang kebutuhan bermainnya, kebutuhan refreshingnya terpenuhi, tentu akan lebih mudah diarahkan dan memiliki pemahaman soal tujuan hidup, tugas-tugas bahkan kewajiban-kewajiban dunia akhiratnya. Karena saat diberi pemahaman, pengertian, disosialisasikan dengan nilai-nilai dia dalam kondisi enjoy, siap menerima.

Bahkan pentingnya bersikap tawazun pada dunia “serius namun santainya” anak, bisa pula menjadi sarana meringankan beban orangtua, sehingga bila suatu ketika kelak harus melepas anak ke tengah lingkungan yang bermacam-macam tarikannya, orangtua tak lagi khawatir. Sebab anak sudah memiliki pemahaman yang kuat, bukan sekedar pengetahuan akan mana hal yang haram dan yang halal dalam hidup ini. Dan pemahaman yang kuat ini hanya bisa didapat dari mereka yang menerima nilai-nilai kebaikan dengan sepenuh kesadaran dan rasa senang, tanpa keterpaksaan atau tekanan. Wallahu’alam. (Zif)
TK KARAKTER: TAK HANYA MENEKANKAN ASPEK KOGNITIF
Di TK ini, anak-anak dididik memiliki sembilan pilar karakter untuk bekal hidup berharga di masa kini dan nanti.
Namanya terdengar unik: Taman Kanak-Kanak Karakter. TK yang didirikan Mei 2001 ini memang sedikit banyak "menggugat" sekaligus ingin memperbaiki karakter negatif bangsa Indonesia seperti korupsi, hujat-menghujat, KKN dan sebagainya. Tujuan mulia ini salah satunya diwujudkan dengan mengadakan pendidikan berbasis karakter di TK yang berada di bawah naungan Yayasan Indonesia Heritage Foundation (IHF), sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan karakter.
Definisi karakter sendiri, seperti yang dijelaskan Ratna Megawangi Ph.D., Direktur Utama Yayasan IHF, adalah sikap yang dapat dilihat atau ditandai dari perilaku, tutur kata, dan lainnya. Dalam padanannya dengan istilah bahasa Arab, "karakter" kira-kira mirip artinya dengan ahlak mulia, yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal-hal baik. Kata "karakter" sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu "charassein" yang berarti mengukir sehingga membentuk suatu pola.
Nah, terbentuknya karakter manusia tidak terjadi secara otomatis. Kendati secara fitrah manusia memiliki potensi mencintai kebaikan, fitrah ini tidak termanifestasikan begitu saja sejak anak dilahirkan. Untuk membentuk dan menumbuhkan karakter perlu proses panjang. "Jadi karakter ibarat otot yang harus dibangun dengan latihan terus-menerus sehingga nanti bentuknya bagus," ujar Ratna.
TAK HANYA ASPEK KOGNITIF
Lalu kapan karakter bisa dibentuk? Tentunya di usia sedini mungkin. Tepatnya pada usia balita karena masa ini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Bahkan ada yang percaya, kegagalan penanaman karakter pada masa ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasa kelak. "Para pakar berkata bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan 80% oleh kecerdasan emosi dan 20 persennya oleh kecerdasan intelektual dan lainnya. Nah, orang yang mempunyai kecerdasan emosi tinggi adalah orang yang berkarakter baik. Ke sanalah pembelajaran di TK Karakter dikembangkan," ujar Tika Wulandari, staf pengajar TK Karakter.
Bila karakter anak didik terbentuk dengan baik, lanjut Tika, maka kelak ia akan memiliki etos kerja yang baik pula; mau bekerja keras dan bertanggungjawab. "Apa pun profesinya dan di manapun posisinya di dunia kerja, dia akan memiliki kebanggaan dan amanah," tambahnya.
Lalu apa beda TK Karakter ketimbang TK-TK lainnya? Sekolah lain diakui Ratna juga mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Hanya saja nilai-nilai ini belum terlalu ditonjolkan atau diistimewakan. "Mungkin selama ini anak mengetahui bila selesai bermain, mainannya harus dibereskan. Namun perilaku seperti itu tidak dilabelkan bahwa artinya dia sudah melakukan tanggung jawab. Dengan demikian nilai tersebut tidak 'menempel' dalam pikiran dan kesehariannya," kata Ratna.
Menurutnya, pendidikan mesti menyeimbangkan semua aspek pada diri anak, termasuk masalah kognitif dan karakter. "Karakter diperlukan anak untuk berinteraksi dengan masyarakat atau di dunia kerja kelak. Orang yang berhasil di dunia kerja tak hanya pintar tapi juga mempunyai emosi bagus."
SEMBILAN PILAR KARAKTER
Kesembilan karakter yang diajarkan tentu saja merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal. TK Karakter mengistilahkannya sebagai pilar-pilar karakter, yakni 1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, 2) Kemandirian dan tanggung jawab, 3) Kejujuran/amanah dan Bijaksana, 4) Hormat dan santun, 5) Dermawan, suka menolong dan gotong royong, 6) Percaya diri, kreatif dan pekerja keras, 7) Kepemimpinan dan keadilan, 8) Baik dan rendah hati, 9) Toleransi, kedamaian dan kesatuan. Pilar-pilar ini dilengkapi pula dengan pendidikan K4 yaitu Kebersihan, Kerapihan, Kesehatan, dan Keamanan.
Ratna percaya pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good atau mengetahui, mencintai, dan melakukan nilai-nilai kebaikan. Lantaran itu, kesembilan karakter ini selalu diimplementasikan sekitar 15 menit setiap hari dengan metode "refleksi rutin" sebelum kegiatan inti di kelas dimulai.
METODE ACTIVE LEARNING
Metode pembelajarannya adalah siswa belajar aktif dengan menggunakan kurikulum yang mencakup pengembangan seluruh dimensi perkembangan anak baik secara fisik, emosi, sosial dan spiritual dan kognitif dengan cara terintegrasi dan terpadu.
Hal ini juga ditunjang dengan berbagai fasilitas agar kesembilan karakter plus pelajaran yang diberikan pada siswa-siswa cilik itu bisa tertancap di dalam benaknya. Ratna menyebut fasilitas yang ada di TK-nya sebagai sentra. Beberapa di antara sentra tersebut adalah sentra imajinasi untuk bermain peran. Sentra rancang bangun untuk bermain balok atau membuat bangunan. Sentra kreasi dan seni untuk kegiatan menempel, menggunting, melipat, mewarnai dan seni lainnya. Sentra eksplorasi sebagai pemenuhan keinginan anak bermain di alam, di pasir, dan lainnya. Sentra persiapan baca tulis terutama bagi TK Besar. Lalu ada sentra komputer, sentra kebun ternak, dan sentra ikan.
TK Karakter ini menerima anak usia 4 tahun untuk TK A dan 5 tahun untuk TK B. Sedangkan playgroup-nya diperuntukan bagi anak usia 3 tahun. Biaya sebesar Rp1.000.000 untuk uang bangunan dan Rp1.250.000 untuk uang peralatan. Fasilitas yang tersedia antara lain satu bangunan untuk satu sentra, kolam renang, kolam ikan, kandang, dan kebun. Juga ada konsultasi perkembangan anak dan konsultasi gizi anak. Hari sekolahnya Senin sampai Jumat.
Playgroup & Taman Kanak-Kanak Karakter
Jl. Raya Bogor Km 31 No 46 Cisalak, Cimanggis, Depok
Telp. (021) 871 2022 (Redaksi Lensa Darbi)


1 comment:

Mansur said...

terima kasih atas artikelnya, semoga kita bisa jadi mitra yang baik menjadikan generasi anak- anak kita menjadi generasi yang matang dan intelektual, maju peradaban dan agamanya...ok