Lensa Darbi

Wednesday, March 14, 2007

2020

Oktober 9, 2006

Posted by ngeditors in Fundamentalisme, Buku, Politik, Islam. 3 comments

Di tahun 2020, dunia baru akan lahir. Kekhalifahan Islam akan menang, dan “umat manusia sekali lagi akan dituntun ke pantai rasa aman dan oasis kebahagiaan…”.

Waktu itu berakhirlah “konfrontasi total” antara kaum.”mukminin” dan “orang kafir” yang berlangsung di seluruh dunia – dan tahap ketujuh dalam rencana besar Al Qaidah akan terpenuhi.

Jika benar seperti yang diuraikan Fouad Hussein dalam buku yang versi Inggrisnya disebut Al-Zarqawi: The Second Generation of Al Qaida, rencana Al Qaidah untuk menang itu – yang terdiri dari tujuh tahap – sudah mulai tampak sekarang. Tahun 2006 termasuk “tahap kedua”, ketika Iraq jadi tempat Al Qaidah menemukan tenaga baru dari anak-anak muda yang ingin menyerang Amerika – musuh yang angkuh dan bodoh yang masuk ke dalam perangkap yang dibuatnya sendiri..

Tapi sebelum saya lanjutkan cerita ini, baiklah saya perkenalkan sedikit Fouad Hussein. Ia seorang wartawan Yordania. Dari sosoknya yang kurus dan sikapnya yang tenang – ia sering tampak di CafĂ© Vienna di Kota Amman — kita tak akan menduga ia punya bahan cerita yang mengagetkan. Tapi 10 tahun yang lalu Fouad – yang tulisan-tulisannya tak selamanya menyenangkan raja — disekap pemerintah di Penjara Suwaqah. Di situlah ia bertemu dengan dua tahanan lain. Yang satu seorang Palestina, Abu Muhammad al-Maqdisi. Yang lain Abu Musab al-Zarqawi.

Maqdisi sudah lama dikenal sebagai perumus ideologi gerakan “Islamis” radikal yang menganggap najis penguasa Kerajaan Saudi. Bukunya mengutuk kerajaan itu sebagai sumber bid’ah — dan agaknya berpengaruh. Di tahun 1995, tempat latihan Garda Nasional Saudi diledakkan orang. Maqdisi menghilang.

Ketika ia berada di Peshawar, Pakistan, di awal 1990-an, ia berjumpa Zarkawi. Keduanya berteman, meskipun tak selamanya Maqdisi membenarkan langkah temannya itu. Zarkawi adalah seorang Badui asal Yordania, seorang man of action yang menurut pelbagai penuturan, hidup dengan aksi sebagai impuls, tanpa pemikiran, tanpa strategi. Ia pasti berbeda dari Maqdisi. Tapi keduanya beraliansi dalam kemarahan dan nasib yang sama. Kembali dari Pakistan dan Afghanistan, mereka membentuk kelompok perjuangan. Mereka ditangkap. Di tahun 1993 keduanya masuk bui. Di situlah Fouad Hussein dapat menimba bahan untuk bukunya.

Yang menarik dari buku yang terbit di tahun 2005 itu – yang menguraikan rencana besar Al Qaedah tadi – adalah ia bisa mirip sebuah ramalan.. Di sana sudah disebutkan apa yang diharapkan Al Qaedah: menyulut konflik antara Iran dan AS. Menurut Zarkawi kunci strategi Al Qaedah adalah menyeret Bush hingga mesin perangnya harus melayani medan yang terlampau luas.

Tak berarti rencana besar itu seluruhnya masuk akal. Mendirikan kekhalifahan Islam – meniadakan pelbagai republik dan kerajaan yang sekarang ini tak tampak akan runtuh – memerlukan revolusi yang menjalar dari tempat ke tempat. Mungkin antara 2013 dan 2016 hal itu bisa terjadi di Saudi dan Suriah – yang legitimasi pemerintahannya selalu rapuh – tapi sudah berabad-abad Islam tak pernah bisa mempersatukan orang muslim. Kini bahkan iman dan tekad yang sama tak membentuk konsensus di antara pelbagai kelompok perang jihad.

Bagi Zarkawi (ini saya pinjam dari tulisan Lawrence Wright di The New Yorker 11 September 2006) menteror dan membunuh orang Syi’ah itu sesuatu yang perlu. Agustus 2003, ia membom sebuah masjid Sy’iah. Lebih daru 100 orang tewas, termasuk Ayatullah Muhammad Bakr al-Hakim.

Maqdisi mengecam kebrutalan yang berlebihan itu, terutama setelah di bulan Mei 2004 Zarkawi membuat dan menyebar-luaskan rekaman film penyembelihan Nicholas Berg, seorang Amerika yang dikontrak Pentagon sebagai penjaga keamanan di Irak. Dalam tulisannya di Website yang ia pakai untuk menyiarkan ide-idenya, Maqdisi bersuara seperti seorang yang jauh dari dunia terorisme. ”Tak ada alasan untuk menuntut balas dengan cara menakut-nakuti orang, memprovokasi seluruh dunia hingga membenci kaum mujahiddin, dan mendorong dunia memerangi mereka”.

Maqdisi agaknya salah satu dari sedikit ideolog “Islamis” yang tahu, bahwa pada akhirnya perjuangan untuk menegakkan suatu tata di dunia adalah perjuangan politik: mencari dukungan, mendapatkan pembenaran, mengajak, menarik, merangkul. Tak ada tata yang di abad yang penuh sesak ini bisa berdiri di atas bangkai dan puing.

Hal ini yang tampaknya mulai jadi tema “oto-kritik” para penjihad. Tulisan Wright menyebutkan nama Abu Bakr Naji, yang tak diketahui identitasnya, tapi kritiknya muncul di musim semi 2004 di internet. Ada langkah politik di samping langkah militer, kata Naji, tapi ia mencatat bahwa pelbagai kelompok Islamis menganggap politik sebagai “aktivitas jorok sang Setan”.

Dan Naji sebenarnya bertanya: bisakah politik dihindari?

Citra Al Qaedah di kalangan muslim rusak, kata Naji, sebab kurang usaha meraih dukungan. Maka langkah pertama, tulisnya, “adalah…memfokuskan usaha, untuk secara rasional memberikan pembenaran langkah kita.. …”. Langkah berikutnya: “mengkomunikasikan pembenaran ini secara jelas kepada khalayak…”

Suara seperti ini memang seharusnya tak ganjil. Tapi kata “jihad” telah membangkitkan kultus kepada darah dan besi, bukan kesadaran akan rasionalitas sesama manusia. Retorika pun bergerak dalam pemujaan kepada kekerasan dan kematian. Ada penampikan kepada hidup di mana keintiman sehari-hari punya harganya sendiri. Ada sikap destruktif kepada apa yang bisa mengimbau orang lain. Ada sikap alpa, bahwa soal kita ialah bagaimana mengubah dunia, bukan meloncat ke surga.

Tapi siapa yang memutlakkan kemurnian memang harus memilih keterpencilan. Siapa yang memilih keterpencilan lewat pembunuhan memang tak dimaksudkan untuk menang di kehidupan. Juni 2002, konon seorang putra Bin Ladin, Hamzah, memasang satu pesan dalam Website Al Qaedah: “Oh, ayah! Aku lihat telatah bahaya di mana-mana…”.

Dia benar.

~Edited version of Majalah Tempo Edisi. 33/XXXV/09 - 15 Oktober 2006~

No comments: