Lensa Darbi

Thursday, October 14, 2010

JADI EDISON, SIAPA TAKUT!

Diposting oleh:Rumah Dunia

Oleh Gola Gong
Suatu hari, anak kedua saya; Abi (6 tahun) menangis karena jempol tangan kirinya tersayat pisau. Saya menasehati dia, bahwa peristiwa ini adalah pengalaman berharga baginya, sehingga di waktu yang akan datang jika memegang pisau akan hati-hati. Kakaknya, Bella (7 tahun) langsung merespon, “Abi, pengalaman kamu ini bisa kamu tulis, dibikin cerita, terus dapat uang.”

GIGIH
Ya, pengalaman sehari-hari bisa menjadi inspirasi bagi kita menulis cerpen atau novel. JK Rowling si “tukang sihir” berpesan, bahwa tuliskanlah sesuatu yang dekat dengan kita. Saya juga begitu. Tapi, tetap dengan riset ke lapangan (field research); melakukan observasi dan wawancara atau di rumah saja (desk research), membaca buku dan menjelajahi internet. Kita tahu, JK Rowling ketika menulis Harry Potter melakukan dua hal itu untuk memperkuat latar tempatnya; sekolah Howgart yang menyihir puluhan juta pembaca dimanapun berada.
Lantas bagaimana memulai menuliskannya? Para (calon) pengarang pemula selalu merasa takut ketika hendak memulai menuliskannya. Ide sudah didapat. Sinopsis sudah dibuat. Para tokoh dan karakter komplet. Konflik aduhai. Ending mengejutkan atau menggetarkan. So, menunggu apa lagi? Thomas Alfa Edison, penemu listrik itu, mengalami kegagalan sebanyak 9000-an kali. Tapi dia tidak kapok-kapok. Apa kata dia? “Itu berarti saya jadi mengetahui, bahwa ada 9000 jenis materi yang jika digabungkan tidak bisa menghasilkan listrik!” Apa yang akan terjadi jika Edison menyerah? Tidak akan ada listrik di bumi ini! Artinya, menulis adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan seperti seorang Edison, gigih, kesungguhan hati, kekerasan hati, dan tentu kerja keras. Gagal dengan tulisan, menulis lagi.
Jika menulis diibaratkan kita sedang menaiki sepeda motor, membaca buku adalah bensinnya. Di kelas menulis Rumah Dunia, 4 ketrampilan berbahasa adalah prosedur yang harus ditempuh jika ingin bisa menuangkan gagasan dalam bentuk karangan. Pertama, dia harus mau mendengar, berbicara, membaca, dan akhirnya menulis. Keempat hal ini adalah prasarat utama sebelum kita betul-betul menjadi pengarang profesional. Dan jurnalistik adalah modal awal menuju sastra.

BERANI
Sekedar berbagi pengalaman. Setiap pagi saya berangkat kerja dari tempat kos di daerah Kebon Jeruk melewati gang-gang sempit. Kesempatan ini saya pergunakan juga untuk riest lapangan. Saya memperhatikan sekeliling. Tembok-tembok mengungkung dengan pintu kecil sebagai jalan tembus, dibuka jam 06.00 dan ditutup jam 22.00 WIB. Jika melewati jam itu, semua orang harus memutar jika ingin pulang. Di parkiran gedung, saya biasa membeli sarapan bungkus dari lelaki setengah baya. Sambil membeli sarapan, saya melakukan wawancara. Saya perhatikan sepedanya yang sudah tua. Di jok belakangnya ada dua kotak besar seperti para penjual koran. Di dalam dua kotak itulah puluhan nasi bungkus disimpan.
Lantas ketika saya hendak menuliskannya, janganlah terlalu banyak berpikir ini-itu; khawatir kosa kata kita tidak bagus. Tuliskan saja. Jangan takut. Jika ada batu menghadang, hantam saja. Artinya, mengawali menulis itu perlu keberanian. Bahkan keberanian melawan perasaan takut salah. Bacalah saat saya menuliskannya di buku harian:
Pak Adil menuntun sepeda gunung tuanya di gang perkampungan. Tangan kanannya memegangi kotak besar yang diikatkan di boncengan dan tangan kirinya mencengkram stang sepeda. Di kotak besar itulah selama 7 tahun hidup diri, anak, serta istrinya bergantung. Di sisi kanannya tembok tinggi pembatas sebuah perusahaan besar, yang dibatasi oleh selokan selebar 2 meter. Jika hujan lebat, kampungnya akan kebanjiran setinggi lutut. Kampungnya persis terkurung di tengah-tengah perkantoran dan pertokoan. Untuk mencapai jalan raya, pihak menejemen pertokoan membuatkan pintu masuk, yang dibuka pada jam 6 pagi dan ditutup jam 10 malam. Jika pintu ini ditutup, mereka harus memutar sejauh 2 kilometer.
Kemudian catatan di buku harian itu jadi kalimat pembuka cerpen saya ; Pak Adil Mencari Keadilan (dimuat di Republika Minggu, April 2005). Begitulah saya mengawalinya. Tuliskan saja apa yang kamu alami, lihat dan rasakan. Saya melewati “proses menjadi” pedagang nasi bungkus itu. Bukan sebagai diri saya yang melihat dan merasakan saja. Inilah saat yang tepat ketika berpikir; bahwa saya memutuskan “sudut pandang” (point of view) dari cerita fiksi yang akan ditulis sebagai pedagang nasi bungkus yang saya namai “Pak Adil” (unsur “who”). Selebihnya, sayap-sayap imajinasi saya yang berperan.
BERTANYA
Dengan menggunakan formula 5W + 1H, saya selalu memulai hari dengan bertanya. Ya, bertanya bagian dari riset lapangan juga. Jangan pernah malu bertanya, jika tidak ingin tersesat. Dengan bertnya, saya mendapatkan informasi tentang banyak hal. Apa saja. Misalnya suatu hari, saya jalan pagi di pasar Klewer, Solo. Saya melihat banyak peristiwa. Ada yang menyapu jalan, membuka toko, dan mbok-mbok nasi liwet di emperan toko. Lagi-lagi saya harus menentukan sudut pandang. Harus ada “proses menjadi”. Saya tidak ingin hanya menuliskan “saya” yang “merasakan”, tapi saya “harus menjadi” pedagang nasi liwet.
Hal pertama yang saya lakukan adalah sarapan pagi di sana dan melakukan wawancara ringan, agar muncul empati di dalam jiwa saya. Langkah awal, saya menuliskannya di buku harian sebelum mempunyai waktu cukup untuk menuliskan ulang dalam bentuk cerpen. Saya mencoba menggunakan sudut pandang “aku” pedagang nasi liwet. Dengan “proses menjadi” pedagang nasi liwet ada semacam tantangan. Bacalah paragraf pembuka cerpen saya; Kidung Pagi di Pasar Klewer (Republika Minggu, Januari 2004):
Aku letakkan bakul berisi nasi liwet, beberapa potong ayam, telor, kanil di teras toko. Hari masih pagi benar. Toko-toko buka nanti jam sembilan. Beberapa anak jalanan yang suka nge-lem masih malas bergeletakan di emperan toko. Tubuh mereka yang penuh daki jalanan dan berbalut celana rombeng, diselimuti kain spanduk. Beberapa mas becak juga meringkuk seperti kucing dengan menyesuaikan luas ruangan untuk penumpang di becaknya. Bunyi adzan shubuh rupanya tak membangkitkan seleranya untuk pergi ke mesjid Agung di sebelah barat alun-alun keraton. Beberapa mobil angkutan kota berwarna kuning melintas. Pasar Klewer juga masih sepi. Sangat berbeda dengan suasana selepas jam delapan pagi. Penuh sesak dengan manusia….
Dari sudut pandang “aku” (who) saya menyertakan juga unsur “where” (latar tempat di Pasar Klewer, Solo). Bahkan ada “who” yang lain, seperti tukang becak dan anak jalanan yang suka nge-lem (menghirup aroma alkohol dari lem agar mabuk). Nah, tidak perlu takut lagi ‘kan? Edison saja 9000 kali gagal! Masak kita kalah!
***
Rumah Dunia, 25 November 2005
*) Dimuat di rubrik “Bengkel Cerpen Annida”, Edisi 15 Desenber 2005.
*) Foto: Abi, anak keduaku yang berumur 6 tahun, sedang menggenggam novel-novelku.(dok.pri)

No comments: