Lensa Darbi

Wednesday, April 28, 2010

Analisis UASBN

Oleh : Dr Rochmat Wahab MA
Departemen Pendidikan Nasional menegaskan bahwa kelulusan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) ditentukan oleh sekolah. Jika ada sekolah yang menetapkan kriteria nilai kelulusan sangat rendah demi mencapai target 100% siswanya lulus, kbijakan sekolah itu tetap tidak boleh ditolak. Pernyataan ini diperkuat oleh Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Djemari Mardapi PhD, bahwa kriteria kelulusan UASBN untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah merupakan hak dan kewenangan sekolah, karena itu tidak boleh ada pemaksaan untuk penyeragaman kriteria kelulusan, kendatipun dari Dinas Pendidikan (Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2008). Pernyataan tersebut sekilas merupakan berita gembira, karena sekolah tidak dipatok oleh kriteria tertentu dan bebas dapat menentukan kriteria kelulusan, sehingga ketegangan yang selama ini terjadi menjadi ”reda”. 

Terlebih guru kelas VI dan kepala sekolah, bahkan orangtua sedikit terkurangi dari kekhawatiran ketidaklulusan yang menimpa peserta didik atau anaknya. Atas dasar itu, maka secara hipotetik dapat saya katakan bahwa sebagian besar SD/MI tahun ajaran 2008 akan mampu meluluskan 100% untuk UASBN. Jika penetapan kriteria kelulusan didasarkan pada pertimbangan kualitas, tentu pantas diapresiasi. Namun jika penetapan kriteria kelulusan itu hanya ingin mengejar kelulusan 100%, walau tidak boleh ditolak, sungguh kita patut prihatin. Setidaknya ada dua alasan penting yang melandasi keprihatinan ini, yaitu 1) ada ketidak-konsistensian antara istilah ujian dengan kebijakan yang dibuat, di satu sisi ujian berstandar nasional, namun pada kenyataannya berstandar sekolah, dan 2) penentuan kriteria kelulusan serendah berapapun yang dibuat oleh sekolah tidak boleh ditolak, cenderung menggambarkan bahwa tidak ada goodwillingnes untuk mendorong kualitas, padahal berbagai riset menegaskan bahwa *Bersambung hal 31 kol 3 ekspektasi yang tinggi akan kelulusan mampu memotivasi peserta didik untuk maju.

Bagaimana kalau sebagian besar sekolah menetapkan kriteria kelulusan yang rendah? Untuk menjaga konsistensi aturan yang ada dan semangat untuk menegakkan pendidikan dasar yang bermutu, sebagaimana dikuatkan oleh UURI No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 5, ayat 1 yang menyatakan bahwa ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, maka standar nasional untuk kelulusan SD tetap perlu dibuat dengan menentukan kriteria kelulusan minimal untuk tingkat nasional, misalnya 3.01. Dengan begitu kriteria kelulusan untuk propinsi kelas menengah, misalnya yaitu 3,26, atau propinsi kelas atas, yaitu 3,51. Misalkan DIY berada pada kelas atas, maka kriteria kelulusan SD di kab/kota di lingkungan DIY yaitu 3,51. Atas dasar itu maka kriteria kelulusan kab/kota yang berada pada kelas menengah, dapat ditetapkan dengan skor 3,76 dan kelas atas, yaitu 4,01. Jika kota Yogyakarta berada pada kelas atas, maka SD di lingkungan kota Yogya kriteria kelulusannya, yaitu 4,01. Jika SD di wilayah Kota Yogyakarta merasa dirinya unggul tentu tidak menggunakan kriteria kelulusannya 4,01, melainkan di atasnya, bisa 4,26, 4,51, atau 4,76. Dengan kata lain bahwa kebebasan yang diberikan ke sekolah seharusnya kebebasan untuk memilih kriteria di atas passing grade di wilayah kabupaten/kota di mana SD itu berada. Bukan kebebasan menentukan kriteria kelulusan yang serendah-rendahnya. Apalagi jauh di bawah kriteria kelulusan nasional. 

Di samping sekolah menentukan kelulusan berdasar prestasi akademik, yang tidak kalah penting juga aspek moral, sehingga kelulusan itu menggambarkan pencapaian keberhasilan yang lebih menyeluruh. Hal ini sangat penting sebagai bekal peserta didik untuk mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan di atasnya. Pertimbangan ini dipandang sangat bermanfaat, karena dirasakan penting sekali mengkondisikan peserta didik sedini mungkin untuk peduli kepada semua aspek, tidak hanya aspek akademik semata. Ingat, bahwa sukses akademik belum menjamin sukses karier dan atau sukses karier belum menjamin sukses hidupnya. Menurut hemat saya, untuk dapat mempersiapkan generasi mendatang lebih bermutu dan siap menghadapi tantangan zaman yang sangat demanding, kiranya kebijakan tentang penentuan kelulusan UASBN SD/MI yang dimandatkan sepenuhnya ke kepala sekolah (yang tidak bisa diganggu gugat), perlu ditinjau ulang atau jika mungkin dilakukan revisi, sehingga tidak men-discourage sekolah, peserta didik, dan orangtua, serta pihak-pihak lain yang terkait. (Penulis adalah Pembantu Rektor I UNY, Wakil Koordinator Tim Pemantau Independen Ujian Nasional (UN) Propinsi DIY, dan Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UNY)-KR 

No comments: