Lensa Darbi

Thursday, July 26, 2007

Cerita Seorang Sopir Tua



Oleh : Ahmad Tohari
Pak Samad mengaku lahir tahun 1930. Jadi kini usianya sudah 77 tahun. Cicit sudah berpuluh jumlahnya. Namun dia masih aktif berjamaah, terutama shalat Subuh. Bila di pagi buta terdengar suara tongkat kayu di jalan menuju ke masjid pastilah dia, Pak Samad.
Dulu Pak Samad bekerja sebagai sopir bis umum dan baru berhenti sepuluh tahun yang lalu. Selain menjadi sopir Pak Samad juga menjadi montir panggilan. Tentang kemontirannya ini Pak Samad sering menceritakannya dengan muka berbinar. "Zaman dulu, bisa mempunyai ijazah montir mobil sudah hebat. Apalagi saya juga bisa nyopir. Wah, gampang dapat jodoh," kata Pak Samad di serambi masjid usai subuh kemarin.
"Tapi ijazah montir itu baru saya dapat setelah saya mengalami dua kali kegagalan. Ujian pertama dan kedua saya tidak lulus. Nah, kalian ingin tahu mengapa?" Seperti biasa, Fadli, U-un dan saya selalu mengambil posisi sebegai pendengar yang baik. Ceritanya, Pak Samad tidak lulus ujian karena hal yang menurut orang sekarang pasti sangat sepele. Waktu ujian praktek Pak Samad disuruh memasang ban mobil.
Semua peralatan sudah disediakan. Samad muda merasa ringan saja; apa susahnya memasang ban karena hal itu sudah sering dilakukannya. Maka iapun mulai. Ban dipasang, kemudian mur-murnya diputar. Dia tidak lupa mengencangkan mur-mur harus seimbang. Selanjutnya kunci diambil untuk memutar mur-mur itu. Oh, kunci sedikit longgar, jadi meleset ketika digunakan. Samad beralih ke kunci inggris. Namun sebelum bertindak lebih jauh penguji menyuruhnya berhenti. Dan Samad dinyatakan tidak lulus.
"Karena saya menggunakan kunci yang sedikit lebih besar dari ukuran semestinya saya dianggap salah. Dan kunci inggris ternyata tidak boleh digunakan untuk memasang mur roda karena hasilnya tidak akan memadai." Masih dengan mata berbinar Pak Samad bercerita bahwa pada zamannya, orang sangat hati-hati terhadap keselamatan. "Jadi hanya perkara memasang roda orang harus sangat cermat.
Karena roda mobil ikut menentukan keselamatan penumpangnya. Maka saya dinyatakan tidak lulus ujian montir karena saya memasang roda mobil dengan kunci mur yang tidak tepat, apalagi saya mau mencoba pakai kunci inggris. Waktu itu saya pasti lulus kalau saya menolak memasang roda karena peralatannya kurang memadai.
Nah, soal SIM juga sama saja. Saya mendapatkannya dengan susah payah karena harus lulus ujian teori dan praktik. Tidak ada cerita membuat SIM massal apalagi membeli SIM seperti sekarang. Dan dulu SIM berupa buku kecil. Jadi kondite pemegangnya bisa dicatat di situ. Tiga kali melanggar aturan, SIM dicabut. Titik." "Pak Samad," tanya Fadli. "Waktu itu siapakah yang jadi penguji? Maksud saya, apakah dia orang Belanda?"
"Oh, penguji saya Pak Darmo. Dia orang seperti kita. Tapi memang, dia orang teknik didikan sekolah Belanda. Nah, Belanda memang penjajah yang jahat, Namun mereka punya tradisi teknik yang sangat baik. Sayang, tradisi itu sekarang banyak ditinggalkan orang, barangkali karena yang mewariskannya adalah penjajah. Sayang."
Pak Samad berhenti bercerita, lalu turun dari masjid terus pulang diiringi suara tongkat kayunya. Fadli, U-un dan saya tertinggal dan memandangi lelaki tua itu dari belakang. Dan ceritanya membuat kami teringat masalah keamanan angkutan penumpang di jalan raya, bahkan juga di laut dan udara. Ribuan nyawa telah melayang karena kecelakaan yang sebagian besar akibat kesalahan manusia.
Puncaknya, orang Eropa terpaksa ikut bicara, melarang semua pesawat Indonesia memasuki wilayah udara mereka. Tidak cukup Eropa, Arab Saudi juga minta jaminan penerbangan yang diselenggarakan oleh perusahaan Indonesia benar-benar aman. Apakah semua ini berawal dari ketidakbecusan kita memasang mur dengan benar seperti tersirat dalam cerita Pak Samad?
Mungkin pertanyaan ini tidak butuh jawaban. Yang diperlukan adalah pengakuan bahwa saat ini kita sedang mengembangkan tradisi, asal-asalan dalam hal keselamatan penumpang. Montir-montir kita banyak yang tidak bersertifikat. Surat kir adalah mata dagangan petugas. SIM bisa dibeli, jembatan timbang adalah sumber penghasilan para pejabat. Pembangunan prasarana jalan sarat korupsi sehingga kualitasnya buruk. Itu di darat. Apakah di laut dan udara keadaannya lebih baik? Pertanyaan ini juga tidak butuh jawaban.
Atau lebih baik kita renungkan pertanyaan ini; apakah ada rasa tanggung jawab demi keselamatan penumpang ketika orang memasang mur roda atau rem bis? Tentu pertanyaannya bukan hanya itu melainkan juga ketika SIM bisa diperoleh secara menyimpang. Surat kir yang diperjualbelikan, izin ini-itu yang bisa ditebus dengan uang. Meloloskan truk yang jelas kelebihan muatan. Atau membiarkan truk raksasa melewati jalan kelas tiga demi uang dalam kotak korek api; adakah rasa tanggung jawab di sana?
Bila cukup jujur di sinilah masalahnya; kita kurang dalam hal tanggung jawab. Kurang peduli dengan kondisi bis, kapal laut, pesawat terbang yang sebenarnya tidak layak operasi; abai terhadap aturan yang dilanggar demi keuntungan pribadi. Dan semuanya sudah membudaya. Bila demikian, bagaimana solusinya?
Ini pertanyaan yang sangat menggelisahkan karena semua orang sudah tahu jawabnya tapi kemunafikan telah membuat orang enggan mengamalkannya. Atau karena kita adalah bangsa lunak yang maunya serba asal-asalan? Maksudnya, asal mendatangkan keuntungan pribadi? Mari kita tanya Pak Samad mumpung dia belum berjalan jauh.

No comments: