Lensa Darbi

Friday, December 07, 2007

Selamatkan Bosscha!! Mau???


SDIT DARUL ABIDIN, khususnya kelas 5 telah melaksanakan pengamatannya di Observatorium Bosscha, Bandung. Sayang mereka tak dapat jadwal malam hari yang dapat langsung mempraktekan bagaimana cara memakai teropong bintang Zeiss itu. Kita harus bersahabat dengan alam guna melindungi dan menyelamatkan lingkungan di sekitar Bosscha (itulah seruan yang ingin kita lantangkan kesemua orang, khususnya generasi muda). Ranting dan pohon berseru, selamatkan Bosscha!" ujar salah seorang siswa SDIT Darul Abidin. Saat ditanya apa pentingnya menyelamatkan lingkungan, mereka menjawab, untuk menghindari bencana alam. Selain itu, untuk menyelamatkan Bosccha agar bisa digunakan untuk peneropongan.
Bosscha merupakan observatorium untuk penelitian astronomi yang terletak di kawasan Lembang, Kab. Bandung. Nama Bosscha diambil dari pendirinya, K.A. R. Bosscha, warga Belanda. Saat ini terdapat lima teropong, yaitu Zeiss, Bambergh, Schmidt, Goto, dan Unitron. Bosccha didirikan 1 Januari 1923.
Namun, fenomena kehidupan manusia saat ini mengancam kelangsungan Bosscha sebagai observatorium terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Sejak 1980, pembangunan di kawasan ini sudah tidak sesuai dengan arahan kebijakan tata ruang. Maka, secara tidak langsung mengganggu kegiatan peneropongan.
Pakar astronomi dari Observatorium Bosscha, Dr. Taufiq Hidayat, mengatakan, keredupan langit sulit didapat karena adanya polusi cahaya dari bangunan di sekitar Bosscha. "Langit tidak hanya terlihat polusi cahaya, tapi juga polusi udara. Akibatnya, cakupan objek redup semakin berkurang," ujarnya.
**
SAAT ini, keredupan cahaya hanya berkisar 10-11 magnitude, dan paling tinggi 13 magnitude sebagai kondisi efeksioner yang jarang terjadi. Pada awal 1980, tingkat keredupan masih ditemui sampai 17 magnitude.
Untuk itu, satu draf disusun oleh Departemen PU, Pemprov Jabar, beserta daerah terkait dan dibantu perguruan tinggi untuk membuat regulasi mengenai zonasi di kawasan tersebut. "Zoning regulation dibuat untuk menerapkan aturan baku untuk kawasan tertentu. Kami mengusulkan bentuknya ditetapkan sebagai peraturan presiden, sehingga Bosscha merupakan pilot project untuk aturan zonasi," tutur Taufiq.
Secara teknis, zonasi di antaranya mengatur kerapatan bangunan. Idealnya, 2,5 km di sekitar Bosscha bebas dari bangunan lain.
"Dengan luas inti Bosscha 8,6 hektare, minimal satu kilometer pertama dibebaskan dari bangunan. Lalu, jenis penataan cahaya yang diterapkan di kawasan itu juga harus diatur," ucapnya. Ditambahkan pula, penanaman pohon perlu digalakkan untuk menyerap polusi udara sehingga didapat keredupan langit yang ideal untuk peneropongan benda langit.
Senada dengan Taufiq, pakar perencanaan dan perancangan kota Denny Zulkaidi menyatakan, zonasi diperlukan untuk menegaskan perlindungan terhadap Bosscha sebagai fungsi penelitian dan konservasi alam. "Selain itu, perlu juga dibuat design guideline untuk memberi panduan bangunan penataan ruangnya," ujar dia.
Ada yang menarik dari isi buku "Selamatkan Bosscha!". Seorang siswa SDIT, Amanda Nurviyan, menuturkan, kalau tempat peneropongan benda langit tak ada, benda langit akan jatuh di Indonesia dan kita tidak tahu tempatnya, di mana? Apakah penduduk akan terluka parah? Jadi, kalau Bosscha tetap dipelihara beserta lingkungannya, maka kita dapat mengetahui benda langit dan fenomena astronomi yang terjadi.
Pada bagian akhir, siswa itu berharap, dengan penemuan astronomi yang meningkat, akan ada astronot dari Indonesia yang mendatangi bulan. Jika Bosscha dapat diselamatkan, itu pun bisa menjadi harapan bagi Indonesia. (lensadarbi.blogspot.com)***

No comments: