Lensa Darbi

Friday, May 25, 2007

'Membentuk' Otak Anak


Orangtua penting memahami cara kerja otak, agar pengasuhan lebih efektif dan anak pun tumbuh jadi pribadi yang kuat.


Betapa hebatnya otak. Dari benda yang lunak di dalam kepala itu kita bisa menciptakan puisi, merancang gedung bertingkat, mengobati roang sakit, menggubah lagu. Tapi, otak pulalah yang membuat orang bisa berbohong, mencuri, hingga memanipulasi orang lain.Sains dalam satu dasa warsa terakhir telah menemukan bahwa perhatian orangtua dalam bentuk percakapan, senyuman, nyanyian, memberi makan, sentuhan, memberi pengaruh pada anak hingga usia dewasa. ''Pengaruhnya bahkan signifikan pada anak-anak yang mengalami kerusakan otak,'' kata Howard Davis dalam Successful Parenting Begins with the Brain.
Bagaimana caranya mempersembahkan anak yang penuh kasih sayang, bersemangat, toleran, tahan banting pada dunia ini? Cara terbaik membesarkan anak seperti ini, kata ahli saraf Arlene F Harder, adalah memberi cinta dan bimbingan yang dibutuhkan otak mereka. Dengan begitu, otak mereka tumbuh menjadi tempat yang sehat bagi semua yang mereka pikirkan, lakukan, dan rasakan. Dengan memahami kerja otak, orangtua akan bisa membantu anak menciptakan pemikiran dan emosi positif.
Mempelajari kerja otakPara pakar telah menemukan, perkembangan kompleksitas otak anak bergantung pada informasi genetis dan pengalaman. ''Pengalaman si bayi membentuk struktur otak yang akan memungkinkan persepsi dari pengalaman itu bisa dirasakan dan diingat,'' kata Daniel Siegel dan Mary Hartzell dalam Parenting from the Inside Out: How a Deeper Self-Understanding Can Help You Raise Children Who Thrive.
Betapa hebatnya jaringan otak. Setiap otak memiliki 20 juta neuron yang terhubung dengan sekitar 10.000 neuron lain. Ini menciptakan jaringan yang rumit terdiri atas triliunan sinaps atau hubungan neuron, seperti sarang laba-laba yang rumit.
Ketika neuron `dinyalakan' dengan koneksi ke neuron lain, protein baru disintesiskan. Ini memungkinkan koneksi sinaps bertambah. ''Dengan kata lain, pengalaman berubah menjadi mesin genetis (kemampuan tubuh menciptakan protein yang membentuk otak menjadi siap dengan pengalaman lain untuk memperkuat pengalaman awal),'' kata Harder. Misalnya, bayangkan Anda membawa si kecil naik bus KRL. Anda hampir terlambat. Saat bergegas menuruni tangga yang dipadati manusia, seseorang di belakang si kecil tersandung, jatuh menimpanya. Si kecil jatuh dngan kepala jatuh menabrak dasar tangga. Meski bukan cedera serius, tapi ia kesakitan pada saat peluit KRL berbunyi.
Otak si kecil langsung mengasosiasikan ketergesaan dengan kerumunan orang, dan kereta api, dengan rasa sakit dan takut. ''Ini karena neuron yang menyala bersama, terhubung bersama,'' kata psikolog Kanada, Donald Hebb.
Pengalaman buruk itu tak akan banyak berarti bagi anak bila Anda menanggapinya secara baik. Tapi, bila tidak paham bahwa anak pada saat seperti itu bisa mengagalami trauma, Anda cuma akan berkata ''Cup, cup, diamlah'', ''Tidak apa-apa, kok''. Dampak buruknya, ia berpeluang mengidap agoraphobia dan menghindari kerumunan dan kereta. Tentu saja, dampak buruk ini juga bergantung pada bagaimana otaknya memproses peristiwa dan faktor lain seperti temperamen dan pengalaman sebelumnya.
Interaksi dengan orang lainManusia adalah spesies sosial. Anak memerlukan ikatan atau kedekatan pada orang lain agar otaknya yang belum matang bisa tumbuh secara optimal. Hubungan ini dimulai dengan komunikasi nonverbal dengan ibu, atau orang dekat lainnya, yang berhubungan dengan kebutuhan dan keadaan emosi bayi.
Ketika bayi menangis karena tidak nyaman, ibu mengelusnya, menggendongnya, menghibur dengan kata-kata lembut. Anak akan belajar tentang hubungan intim dan ikatan dengan seseorang yang mencintainya. Bila melihat kebutuhannnya terpenuhi, anak bisa selaras dengan pikiran dan tubuhnya sendiri. Ia menemukan kegembiraan jadi manusia. Bila tak bisa memenuhi keingiannya, anak akan mengalami hubungan yang tidak nyaman. Ia akan secara emosi berjarak dengan orang lain. Kualitas hubungannya cenderung bersifat basa-basi dan berjarak.
Membangun 'mindsight'Belakangan ini ilmuwan saraf membuat observasi menarik. Mereka memerhatikan bahwa ketika seorang menggerakkan lengannya untuk mengambil buku dari meja bahwa neuron tertentu di otaknya menyala. Ternyata, neuron yang sama akan menyala bila orang itu hanya melihat seseorang dengan sengaja meraih sebuah buku. Neuron-neuron itu karena itu disebut `mirror neuron' (neuron cermin). Neuron seperti itu ditemukan di berbagai bagian dari otak yang menghubungkan antara tindakan motorik dan persepsi.
''Bukti in bukan hanya awal dari imitasi dan belajar, tapi juga penciptaan mindsight,'' kata Daniel Siegel, seorang ahli saraf. Mindsight adalah kemampuan membuat sebuah image dari keadaan yang ada di benak orang lain. Dengan cara ini, ketika kita bisa merasakan emosi orang lain. Contoh konkretnya adalah pada dua orang yang kenal baik sedang bercakap-cakap. Masing-masing 'paham' apa yang dikatakan lawan bicaranya.
Bila kita bisa membangun mindsight yang besar, maka kesalahpahaman di dunia ini akan jauh berkurang. Bagaimana orangtua menumbuhkan komunikasi seperti ini dengan anak mereka? ''Berlatih,'' saran Siegel. Masalahnya, hubungan ini mudah hilang ketika orangtua terburu-buru atau ingin mengajarkan pelajaran dengan cepat. Atau, komunikasi yang tak sejalan. Misalnya, si kecil memetik bunga di halaman rumah neneknya. Nenek berkata, ''Oh, kamu nggak mau memetiknya, kan?'' Padahal si kecil ingin memetik bunga itu. Neneklah yang tak ingin bunganya dipetik. Pada saat itu, anak menerima pesan yang tidak kongruen. Ia jadi bingung apakah ia sebenarnya berpikir menginginkan apa yang betul-betul diinginkannya.
Orangtua yang tahu memperbaiki komunikasi tidak akurat ini mengatakan. ''Ibu tahu kamu ingin memetik bunga. Tapi, nenek ingin melihat bunga itu tumbuh di depan rumah. Nah, sekarang letakkan bunga ini di jambangan. Lain kali kalau ke rumah nenek, kita biarkan bunga-bunga indah ini tetap di taman.''
Bila kita belajar lebih terbuka pada apa yang sebenarnya terjadi dalam benak anak kita --apakah ia sedih, gembira atau takut-- kita akan memberi mereka pelajaran amat bernilai dalam mindsight. Pelajaran ini akan bertahan seumur hidupnya. Saat tumbuh tua, mereka akan bisa merespons orang lain dengan keterbukaan, perhatian, dan kasih sayang yang sama. n berbagai sumber( )

No comments: