Lensa Darbi

Friday, November 02, 2007

Bukuku Hatiku

Oleh Gola Gong

yang miskin jangan bersedih
yang kaya janganlah bangga
derajat manusia di sisi Tuhannya
bukan karena hartanya….

Syair di atas adalah lagu dari Rhoma Irama, raja dangdut sepanjang masa. Bagaimana realitasnya di tanah para sultan ini?

JABATAN

Jauh panggang dari api. Ternyata yang miskin, dipaksa-paksa tidak bersedih juga, tetap saja bersedih. Bagaimana tidak sedih, kalau masuk sekolah masih saja mahal. ”Anak saya gratisnya Cuma masuk SD doang. Pas ke SMP, mesti nyediain duit ratusan ribu. Coba, gimana nggak sedih jadi orang miskin!” Terus, yang kaya apa dilarang berbangga diri? Boleh-boleh ajalah. Bang Rhoma ini bagaimana, sih? Kita cari uang ’
kan untuk jadi kaya. Setelah kaya, kita boleh dong menikmati hasilnya! Pamer sandang dan pangan serta selera kelas atas. Kalau perlu merubah penampilan dengan cara operasi plastik, agar tampak kinclong. Kalau sudah selesai urusan primer dan sekunder, boleh dong ke urusan lainnya! Untuk apa kita kaya dan raya, kalau cuma pekerjaannya duduk ongkang-ongkang kaki. Mending kalau kekayaan itu dari hasil pekerjaan profesional kita, tapi kalau kaya karena gara-gara ketiban komisi? Tidak enak juga ’
kan. Nanti dikiranya kita kaya gara-gara babi ngepet lagi. Hualah!

Nah, sekarang ’
kan sedang musim pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung). Boleh dong yang kaya mencalonkan diri jadi kepala desa, bupati atau gubernur? Jadi, kekayaan yang kita miliki ada manfaatnya, bisa memberi nafkah kepada jasa konveksi (spanduk, stiker, kalender, dan kaos) memberi tambahan penghasilan kepada para aktivis atau akademisi (jadi tim sukses gitchu lho!) dan syukur-syukur harta kita memberi manfaat kepada orang banyak. Kalau misalnya nanti terpilih jadi gubernur, treus kekayaan kita semakin bertambah, ya wajar-wajar sajalah. Namanyanya juga hukum dagang.
Ada modal, pasti ada keuntungan.
PERPUSTAKAAN
Tapai kadang kita lupa, apakah dengan kekayaan yang kita miliki, kita sudah memberikan banyak kontribusi kepada masyarakat banyak dalam hal pendidikan? Misalnya, membangun sekolah atau memerikan beasiswa. Kontribusi sosial ini saya pikir sangatlah perlu dikemukakan terkaik dengan pilkadal di Banen ini. Sering mengemuka tim anti korupsi melakuan amanahnya, dengan mencatat daftar kekayaan dari para calon pejabat. Rata-rata yang berniat jadi pemimpin sekelas buati atau gubenur memang orang kaya. Artinya, kekayaan yang dimiliki oleh seseorang signifikan dengan jabatan politis yang diemban.

Nah, pernahkan terlintas, bahwa selain ada tim anti korupsi, juga ada tim anti non-literasi? Apakah itu? Literasi dan terasi, wahai, adakah hubungannya? Tentu saja ada. Literasi dan terasi sebenarnya selalu hadir tanpa kita sadari kehadirannya. Terasi, pasti selalu ada di antara deretan bumbu-bumbu masak lainnya seperti garam, gula, merica, dan cabe rawit. Terasi ada tapi tiada. Begitu juga dengan literasi (aksara). Dia selalu kita gunakan setiap hari, tapi sebetulnya kita tidak peduli kepadanya. Contoh nyata, literasi itu mau tidak mau selain harus berumah di institusi pendidikan semisal sekolah dan perguruan tinggi, juga berumah di gedung yang dinamakan perpustakaan. Apakah itu perpustakaan setingkat kantor,UPTD, mesjid, masyarakat, juga perpustakaan pribadi di rumah-rumah kita.

Punyakah kita yang kaya raya ini rentetan aksara yang terkumpul di dalam buku dan berumah di perpustakaan? BANTEN CERDASTerkait dengan para cagub dan cawagub Banten yang tentu kaya raya, bisakah selain daftar kekayaannya kita catat dan laporkan, juga buku-bukunya kita catat pula? Punyakah mereka perpustakaan pribadi di rumahnya? Punyakah mereka buku-buku di kantor atau ruangan kerjanya? Buku apa saja yang mereka baca? Membaca sastrakah mereka? Jika mereka bepergian membawa tas, adakah buku selalu mereka bawa? Jangan-jangan di tas Atut dan Marisa hanya ada alat kosmetik! Jangan-jangan di mobil Atut dan Marisa tidak ada buku! Jangan-jangan di ruang kerja Atut, Tryana Syam’un, Muchtar Mandala, Irsyad Djuwaeli, Zulkieflimansyah Cuma ada sofa, lukisan kaligrasfi Allah dan Muhammad, tapi tidak ada rak berisi buku.

Apa hubungannya para cagub dan cawagub dengan buku? Oh, ada banget! Silahkan saja kita kaji kinerja para pemimpin di Pemprov Banten generasi pertama ini (periode 2000 – 2004). Mulai dari gubernur yang dinon-aktifkan, Plt gubernurnya, para pejabat setingkat Asda, dan Kabironya. Juga ke para bupati di Banten, ke Kepala Dinas, ke ketua DPRD Banten dan DPRD Kabupaten! Cobalah tim anti literasi kita bentuk dan kita datangi rumah-rumah mereka. Kita catat daftar kekayaan bukunya! Adakah di rumah mereka perpustakaan pribadi? Kok, ngotot sekali dengan perpustakaan pribadi?

Pernah mendengar cerita tentang seorang Abraham Lincoln, presiden Amerika abad yang lewat? Dia adalah presiden yang peduli pada kulit hitam yang hanya lulusan SD. Dia bisa jadi presiden merangkak dari bawah. Awalnya dia kurir. Karena rajin membaca buku, dia ditawari menjaga perpustakaan. Semua buku dibacanya, hingga setiap presiden punya masalah, dialah yang sanggup menasehati presiden dan mencarikan jalan keluarnya. Dia bisa begitu, karena membaca buku. Kemudian orang-orang menyuruhnya ikut pemilihan presiden. Terpilihlah dia. Di negeri kita, Adam Malik juga contoh nyata. Dari kegermaran membaca, dia jadi menteri luar negeri, lalu jadi wakil presiden. Thomas Alfa Edison, juga lulusan SD, tapi karena getol membaca, akhirnya bisa menciptakan lampu atau bohlam. Di Banten, tampak sekali para pemimpinnya tidak menyukai buku. Padahal gelarnya berderet-deret dan aneh-aneh. Contoh nyata, di era awal Banten jadi provinsi, para petinggi di DPRD Banten ogah membangun gedung perpustakaan. Bahkan sekarang pun, rencana pembangunan gedung perpustakaan dibatalkan. Plt gubernur dan Ketua DPRDnya setali tiga uang. Lihatlah juga kebijakan-kebijakan publik atau politis yang mereka putuskan, jauh rak dari buku. Lembaga setingkat Dinas Pendidikan saja, tidak becus membangun SMA UNGGULAN yang kini berubah jadi SMA CMBBS. Kalaulah pendidikan tidak mereka jadikan sebagai proyek, tentu ceritanya jadi lain. Tapi itulah, cara berpikir mereka masih menggunakan hukum ’budaya berhitung” bukan ”budaya berpikir”.

Terus, apa maunya membentuk tim anti non-literasi? Maunya adalah, jika di rumah-rumah yang saya sebutkan di atas itu tidak ada perpustakaan pribadi, berarti mereka tidak pernah membaca buku. Kalau kenyataannya begitu, bagaimana bisa mereka menjadi pemimpin kita kalau tidak pernah membaca buku? Itu artinya, mereka termasuk yang anti literasi alias anti menuju Banten Cerdas. Kalau sudah begitu, ngapain kita memilih mereka jadi pemimpin? Terus, terus, siapa yang jadi tim anti literasi?

Tayakan saja sama KPUD, Panwaslu, dan LSM! Mereka ’
kan orang-orang pinter. Eit, jangan-jangan malah di rumh mereka juga tidak ada perpustakaan pribadi! Wealah!
*** *) Penulis adalah rakyat yang mndambakan perpustakaan megah

dari sini




No comments: